258 JOGJA

Sugeng Tanggap Warsa Kota Tercinta, Yogyakarta! Biar lebih enak, mungkin saya nyebutnya dengan nama Jogja, kota yang selalu saya pijek semenjak saya belajar ngerangkak sampe sekarang ini. Banyak yang berubah di sini, ya iyalah secara (hampir) nggak ada satupun hal yang statis di alam semesta. Tapi perubahan Jogja bikin saya jadi ngerasa ganjil. Entah memang saya yang nggak siap sama banyak perubahan atau memang kota ini yang berubah kelewat dari batas.


Makin ke sini Jogja makin berkembang, memang bener. Tapi sayangnya saya ngerasa perkembangan yang paling signifikan di Jogja ya Cuma perkembangan secara fisik, banyak gedung baru entah itu hotel, mall, pertokoan, kafe yang sengaja dibangun untuk narik wisatawan atau bikin masyarakat kita jadi konsumtif, dan sistem jalan raya yang berubah untuk sedikit- sedikit mengurangi kemacetan di beberapa titik walaupun di tempat lain justru malah makin macet.


Kalo orang pergi ke luar Jogja dalam kira- kira 2 bulan ini mungkin bakal sedikit asing karena ada beberapa jalan yang diubah jadi satu arah. Dan mungkin bagi orang yang udah nggak di Jogja selama 3 tahun-an mungkin bakal kaget karena banyak banget yang berubah, ya Jogja nya, ya orang- orangnya, tapi tetep aja saya merasa, di sini masih lebih baik.


Sangat disayangkan banyak banget hal baru yang justru makin lama bikin masyarakat sini ngerasa asing dan nggak nyaman di kotanya sendiri, saya juga nggak ngerti gimana caranya sampe bisa bangunan- bangunan itu berdiri angkuh di tanah Jogja. Lebih- lebih saya kasihan sama masyarakat yang ada di sekitar hotel dan mall- mall yang sudah ataupun yang lagi dibangun.


Di dekat rumah saya, ada sebuah perkampungan. Waktu saya SD dulu, saya selalu pulang ke rumah jalan kaki lewat jalan kampung tersebut. Di sana ada lapangan yang cukup luas dan selalu dipakai bermain oleh anak- anak seumuran saya waktu itu dan tempat berkumpul warga serta orangtua yang menjaga anaknya bermain. Ramai dan asik banget pasti, kadang saya pun berhenti di sana untuk menonton Jathilan keliling yang kebetulan sedang ada ketika saya lewat.


Sekarang lapangannya sudah nggak ada, diganti sama hotel yang cukup mewah, tinggi dan dalam. Saya bilang ‘dalam’ karena saya sempat mengintip saat dibangun tanah disitu dikeruk sampai sangat- sangat dalam entah untuk pondasi atau basement. Lapangan hilang, anak- anak nggak punya tempat untuk main bareng lagi, orang- orang dewasa nggak bisa kumpul lagi, interaksi da kehidupan sosial warga jadi berkurang ungkin karena media "kumpul-kumpul" nya hilang, bisa aja jadi lebih "sendiri- sendiri", air yang di dapat untuk kebutuhan sehari- hari nggak selancar dulu, kadang juga keruh, dan satu hal yang bikin saya sedih, banyak orang yang kehilangan sinar matahari pagi, siang mereka pun juga jadi gelap, ketutup bangunan tinggi dan mereka berada di belakangnya kecil- kecil berjejer rapat. Saya pikir, di sekitar bangunan seperti itu pasti ada yang kehilangan sinar matahari, dan hal lainnya pasti. Pembangunan yang nggak pake akal sehat gitu, ternyata bisa juga bikin pergerseran sosial dan lingkungan. Nggak kebayang kalo saya yang punya rumah di situ, apa yang saya bisa rasain selama ini tiba- tiba hilang gitu aja, pemandangan yang dilihat dari kecil tiba- tiba hilang, suasana yang dirasain dari kecil juga udah nggak sama, tapi toh nggak bisa berbuat apa- apa buat mencegah atau ngedapetin lagi hal kayak gitu.


Saya suka sekali lewat Jalan Mangkubumi. Bangunannya masih asli sejak jaman dulu. Di kanan kiri masih berdiri toko- toko jaman dulu, kantor yang masih asli bangunannya, walaupun nggak modern kayak toko- toko dan kantor jaman sekarang, tapi kokoh dan ‘ngayemi ati’, padahal di tengah kota, di sana saya bisa dapet suasana Jogja ketika mungkin kakek nenek saya masih kecil. Tapi itu dulu. Sekarang sebagian besar bangunannya udah berubah, untuk kantor provider telepon seluler, dealer kendaraan bermotor, hotel mewah juga nggak ketinggalan, dan pemilik- pemilik yang ngerubah toko mereka jadi lebih modern. Suasana asli Jogja jaman dulu udah nggak kerasa lagi di sana.. Di tempat lain, makin- makin.


Agak ngelunjak rasanya kalo pengen Jogja bakal kayak dulu lagi. Tapi sebagian besar orang yang udah ngabisin sebagian besar hidupnya selama ini  termasuk saya sendiri masih ngerasa, kalo di sini lebih baik.

7-22/09/14

I have finished my mapping practice in Karangsambung, Kebumen. It took 2 weeks and I felt isolated there. But in the other hand i felt very very happy because I could meet my college friends everyday, at breakfast and dinner time, and also everytime we made daily report and made tracks plan in the night that made us bored and frustated.


I did activity scheduled. In barrack, started from wake up in the early morningbathroom queuingwatched my friends make up her own face, drying her hair and chit-chatting. At 6 o’clock we would had be in dining room to  have breakfast together. After that, we went back to the barrack to prepare our field equipments. At 7 o’clock we gathered in the yard with our team and our lecturer to have briefing  before going to field.

My partners in the field are Ipul and ‘si  Bos Ganténg’ from Manokwari, Samuel. I went to the field with Samuel for 2 days and the other days with Ipul. At 8 am until 5 pm we were in the field, and took a little time for break to ate our own foodprovision and did prayer. Before our working time end, sometimes we alocated time to visit the Luk Ulo ‘super’ river to relax and enjoy the view, just played with the water or took some our pictures together and ‘act’ like local youth before went back to barrack.

Something that i found everyday just outcrop, forest, bushes and river, sometimes snakes or people’s sewage, errrrr! I had a moment where there was a frog standing beside my foot and then a snake appeared and grabbed the frog suddenly. How lucky i was the snake didn't make a fault to grab and bit my foot. And the most disgusting thing was when i was untentionally stepped on the fresh sewage, ugh!!! I hate it to the max.

Besides that, i found something I called "individual attractiveness". I liked to step on the dry leaves. I always enjoy the sounds they made. When i entered the jungle, i found so many falling dry leaves and i tought “it is heaven!”. So, when my partner observed the outcrop in his kavling, i made a thousand steps in the dry leaves instead and then my partner gave a comment, in javanesse: “plis deh Nggik koe ra sah bahagia..”  Hmm, i assumed he just had not tried to make a step on dry leaves yet.

Arrived in barrack, i queued to take a bath immediately and after that we always shared everything that we found in the field, ‘gossiping’ or having short sleep while waiting dinner time at 6.30 PM. And all these activities repeated for 16 days. What a great experience and precious lesson for me and my friends for having this moment together before we live our own life.



can you see them? i found them in limestone olistolith

best place to take a rest after mapping activity


miss this road and the view

Suasana Kagetan Menjelang Pemilu

Belakangan saya rada selo, jadi bisa lebih sering buka facebook dan liat- liat ada apa aja di sana. Gara- gara itu saya jadi tau, "Oooh lagi rame mau pemilu, ya." Keliatan, orang- orang pada ngepost artikel tentang capres ini sama capres itu. Ada yang bagus- bagusin idolanya, bahas mulai dari track record, korupsi lah, penculikan lah, pencitraan lah, bohong- bohong lah, macem- macem, sampe kehidupan pribadi si capres. Yang lucu lagi, kalo ada orang debat kusir di kolom comment postingan facebook, ada yang nyama-nyamain kesamaan pendapat misalnya si capres ini setuju sama program tertentu baru lagi temen saya tekuni. Nggak salah sih, cuma opini subyektif saya bilang, lucu aja, 'ngapain', dan 'terus kenapa' gitu lho.


Bukannya saya apatis, atau ya apalah sebutannya terserah. Saya cuma mikir hal kayak gitu tu yaudah.., mereka sudah ada, adanya udah seperti itu, dengan karakter dan sejarah hisup masing- masing, jadi ya nggak perlu didebatin lagi. Mereka juga nggak butuh dukungan postingan orang- orang di facebook atau di mana pun, mereka juga nggak butuh debat kusir dari pendukung dan para haters nya. Kalau memang kualitas dan visi misinya bagus, tanpa didukung secara agresif gitu pun mereka toh juga bakal menang dengan sendirinya. 


Saya juga bingung loh, apa esensinya orang-orang ngeposting begituan. Oke lah kalo si capres pada kampanye karena mereka punya kewajiban sekaligus hak buat menyampaikan visi misi dan aspirasi serta tujuan mereka ke rakyat. Kalo orang- orang di facebook dan media sosial lain buat apa? Buat kampanye juga? Terus? Buat mempengaruhi orang lain supaya milih pilihan yang sama kayak pilihan mereka? 


Udah deh, kalo emang si capres punya kualitas bagus, tanpa kalian susah-susah, tanpa kalian ribet adu pendapat, tanpa kalian repot- repot mensugesti orang lain, mereka toh pasti bakal menang dengan sendirinya. Sekali lagi ini emang opini subyektif saya, tapi kok saya jadi nganggep orang yang ngeposting artikel- artikel semacam itu kesannya rada agresif, seolah pengen nunjukin, "Ini lho yang bagus, you should choose it deh" atau kalo orang yang ngepost hal jelek lawan capres pilihannya, kesannya jadi kayak, "Nih, jangan pilih yang ini, ini tuh kriminal, ini tuh pencitraan, mending pilih yang satunya aja." 


Oh men -_- Males banget ngga si? Kenapa orang- orang kayaknya nggak ikhlas kalo ada orang lain beda pendapat? kenapa orang- orang harus maksa banget orang lain harus sepemikiran sama mereka? Kenapa orang- orang nggak bisa santai dengan pilihannya masing- masing tanpa harus mensugesti orang lain biar sependapat sama mereka? kenapa harus kayak gitu, kenapa kita nggak saling 'yaudah' di pilhannya masing- masing dan saling menghargai pilihan tiap orang. Kalo kamu sama saya beda, yaudah gitu, kita tetep sama pilihan kita masing- masing tanpa harus saling mempengaruhi.


Saya pernah tuh lagi ngobrol sama tante saya sama anaknya, tante saya lalu nanya saya milih capres mana. Ya saya jawab aja kalo saya milih capres X. Terus tante saya nyeletuk, "Wah bal (nama anak tante saya) ada yang milih X nih bal." Terus saya dikatain berpikiran pendek gara- gara milih capres X dan ngasih saran mending saya milih capres Y. Saya bisa aja sih ngebales, "Ih ngapain , milih si Y, pemilihnya aja pada nggak toleran sama suka ngatain orang yang beda pendapat gini, cih." tapi ya ngapain gitu, cukup di batin sama di sini aja bilangnya, hehe. Lagian tante sama keponakan saya ngapain banget deh, toh saya juga nggak jelek-jelekin capres pilihannya, dan saya juga nggak menjabarkan kenapa saya milih capres X apalagi mensugesti mereka buat milih capres pilhan saya, kenapa mereka mesti ribet si. Dan ternyata kasus kayak gitu terjadi juga di facebook, di mana pun, yang skalanya lebih besar daripada sekedar obrolan nggak jelas tante- anak dan saya. Tolong deh ya -_-


Saya kadang juga mikir, kenapa orang- orang yang saya liat kesannya cuma kepentok sama masalah capres doang..halooo inget kan sama kata- kata tadi, salah satu dari mereka, kalo emang kualitasnya bagus, pasti toh bakal menang dengan sendirinya tanpa kita harus pada ribut dan ribet! Dukungan kalian cukup di kertas suara aja meeeeeen,  itu jauh lebih berarti. Jadi semuanya tentram. Padahal ya, masih ada hal yang jauh lebih penting daripada masalah itu, kalo menurut saya, masalah hak pilih jauh lebih krusial. 


Teori saya yang nyatain "capres yang kualitasnya emang bagus pasti bakal menang dengan sendirinya tanpa kalian dukung secara agresif" bisa dipatahin kalo ada penyelewengan hak suara pemilih atau ketidakmenjangkauan si pemilih. Maaf ya bahasanya acak- acakan. Saya sulit membahasakan apa yang saya pikirin.


Penting? Ya jelas penting. Banyak loh hak- hak suara di luar sana yang kebuang sia- sia. Masyarakat yang tinggal di pelosok dan sulit dijangkau, dan masyarakat yang ada di luar negri atau di luar kota yang nggak bisa make hak pilihnya karena kurang syarat administrasi atau apalah. Harusnya orang- orang yang pada debat kusir dan saling 'nunjukin' ataupun mensugesti orang lain itu sadar dan mikir gimana caranya biar hak suara semua pemilih bisa dipake, nunjukin gimana caranya nyoblos yang bener, banyak loh masyarakat yang belum paham hal yang terkesan sepele kayak gitu, nunjukin gimana ngurus syarat- syarat buat orang yang lagi nggak di tempat terdaftarnya, yang di luar kota, di luar negri, yang lagi dirawat di rumah sakit, biar hak semua pemilih tu bisa dilindungi dan dijamin, biar hasilnya valid, murni dari suara terbanyak dari seluruh rakyat. Kalo gitu kan adil, ketauan mana yang ada di hati rakyatnya, mana yang enggak. Kalo udah gitu, kan enak, jadi nggak ada saling curiga, yang kepilih asli dari suara terbanyak rakyat.

Halo Selamat Malam

Saya suka ketika saya harus keluar malam hari. Bukan bukan, saya bukan anak yang doyan keluar malam buat main. Saya suka suasana malam di luar sana, ketika saya harus ke stasiun, harus ke rumah sakit, ke kampus atau apa lah, saya suka. Saya selalu lebih menikmati perjalanan ke tempat tujuan pada malam hari. Malam hari, jalanan lebih sepi. Lepas dari semua keribetan dan keburu-buruan di siang hari. Saya bisa lihat apa yang nggak bisa saya lihat biasanya waktu siang hari.


Sering saya lihat masih banyak orang- orang kerja malam hari. Para ayah yang malem- malem masih ngejar- ngejar penumpang di stasiun buat bawain tasnya, bapak- bapak yang malem- malem masih nawarin orang- orang biar pada naik becak, simbah- simbah yang malem- malem masih nyodorin nasi uduk dari balik jendela kereta, mas- mas yang masih nawarin bakpia yang udah keras nggak tau udah berapa lama belum kejual, ibu- ibu yang jualan makanan kecil, pasangan kakek nenek yang masih buka warung tenda mie jawa sampe malem banget padahal mereka buka dari jam 6 petang dan baru tutup kalo dagangannya abis, kalo mereka masih buka sampe malem, berarti hari itu yang beli cuma dikit. Bersyukur, saya punya ayah yang nggak harus nyari duit sampe malem buat ngehidupin keluarganya pas kebanyakan orang lain udah nyenyak di kasur masing- masing.

Tiap pulang dari kampus dini hari, saya selalu liat ada satu keluarga, si ibu sama bayinya tidur di becak, terus bapaknya tidur di bawah, kalo siang kebetulan saya lewat, si ibu lagi duduk lendetan di tembok pom bensin sambil gendong bayinya, si bapak ngga ada, mungkin lagi narik becaknya. Kemana ya orang- orang di luar sana neduh kalo hujan?

Oh iya, saya benci banget sama orang yang masih muda sehat bugar tapi ngamen, lebih- lebih kalo nggak jelas pake apa dan nyanyi lagu apa. Lebih benci lagi sama orang ngamen atau ngemis tapi rambutnya di cat, ngerokok, maksa anak- anaknya ngamen juga, grooookkk!

Ya gimana deh, bukan berarti cuma orang yang punya aja yang boleh ngecat rambut atau ngerokok ya, tapi ganjil aja rasanya. Mereka masih bisa kerja, tapi malah ngamen, duit ngamennya malah dipake buat ngerokok, kan aneh. Dan mereka nggak ngehargain sama simbah- simbah yang kasian jualan koran, minuman, sapu, kasur dan barang- barang lainnya yang berusaha buat nggak ngamen.

Okelah balik lagi ke malam hari. Saya suka suasana jalanan malam hari, apalagi malam hari bikin pengelihatan saya lebih kaya karena bikin saya bisa ngeliat apa yang nggak ada di siang hari. Bukan gara- gara malam hari lebih terang, tapi malam hari bikin saya belajar nemuin sesuatu dalam gelap.

Saya Sering Lupa

Hari ini, saya dapet sebuah pelajaran berharga. Siang hari saya dikejutkan sama kabar bahwa ayah teman saya meninggal dunia mendadak karena kecelakaan. Teman saya langsung kacau, nangis nggak karuan, dan ya begitu lah.. Yang jelas keadaannya bikin saya dan yang lainnya jadi bingung plus sedih banget banget.

Di saat yang sama saya jadi kepikiran, kalo saya ada di posisi teman saya, saya pasti udah entah bakal jadi kayak gimana. Dan pada saat yang sama, keadaan kayak gitu bikin saya ketampar, betapa banyak hal yang harus saya syukuri, tapi justru malah kelewat gitu aja.

Saya pernah sedih berlarut- larut gara- gara hal kecil yang hilang dari saya. Yah gitu deh, pokoknya semuanya itu bikin saya sadar, kalo cuma gara- gara kehilangan hal kecil, saya jadi lupa sama apa yang saya punya. Jadi, kenapa kita harus sedih cuma gara2 kehilangan hal kecil kalo kita masih punya banyak hal besar lain yang harus disyukuri.

HAL SEDERHANA: MEMBURU PANCARAN SINAR MATAHARI TERBIT

Ini cuma langkah dadakan yang muncul di tengah- tengah UTS. Kebetulan saya mendapat libur di akhir pekan saat ujian. Dan obrolan bersama kawan saya berakhir dengan "Yaudah yok, besok sore cuss merapi. Nyunrise."





Dan akhirnya matahari menerangi perjalanan pulang saya dan teman- teman. Cerah.


I Believe in Karma

Pernah dengerin lagunya Savage Garden yang Affirmation? Yeps, di situ ada lirik yang bunyinya 'i believe in karma what you give is what you get returned'

Semester ini saya belajar banyak hal. Beberapa emang nggak jauh- jauh dari yang namanya karma. Aaah..

Denger lirik itu bikin saya mikir, ya bener juga, apa yang kita lakuin ke orang lain itu pada akhirnya bakal balik lagi ke kita, entah itu lewat orang lain atau orang yang sama.

Kalo kita  dengan sadar dan tau udah nyakitin hati orang lain atau bikin orang lain tersinggung trus dapet karma, ya nggak masalah, itu memang salahnya kita dan memang layaknya begitu.


Tapi saya jadi suka serem, kalo sekali waktu kita nggak sengaja dan nggak sadar udah bikin orang lain sakit hati dan tersinggung, trus tau- tau dapet karma.., apes banget kan?


Tau ada yang namanya hukum alam kayak gini, saya jadi mikir mungkin Tuhan nyiptain karma biar kita belajar kalo bersikap emang kudu ati- ati, kalo ngomong kudu difilter, apalagi kalo udah bawa- bawa orang lain. Dan 'apa yang kita kasih adalah apa yang kita terima'. Kalo menurut saya sih, itu adalah hukum yang paling adil di dunia ini.

Pohon Kesayangan

Jadi selama 10 hari kemaren, saya kuliah lapangan di bayat. Waktu itu  lagi di daerah Watuprahu, memang sudah beberapa kali ke sana sih. Tapi baru sempat mengabadikan pohon kesayangan saya di sana. Entah apa namanya. Yang jelas saya suka bentuk dan tekstur batangnya. Sayang ada orang usil yang nulis- nulis di di sana, kacau!





Refleksi

Kamu percaya Tuhan?

Jelas. Saya memeluk agama, saya punya Tuhan, saya percaya Tuhan itu ada. Sayangnya Tuhan terlalu abstrak di pikiran saya. Mungkin Tuhan memang sengaja mengabstrakkan dirinya. Tapi kenapa? Apa karena biar nggak dicemooh umatnya? Apa biar umatnya tetep penasaran? Apa biar umatnya setia?

Kalau Tuhan mau, Dia bisa aja meng'kongkrit'kan diriNya dan tetap membuat umatNya selalu kagum dengan sendirinya, bisa membuat umatNya selalu memuji secara alami, membuat umatNya selalu penasaran kenapa Ia bisa se 'WOW' itu, seakan- akan rasa penasaran itu muncul sendiri dari dalam diri umatNya. Itu kan hal 'keciiiiiil'.

Kata orang, nggak usah sibuk- sibuk penasaran kayak gimana sih Tuhan, di mana sih Dia, karena Tuhan itu ada di tiap diri kita, cerminan diri kita sendiri. 

Oh, jadi kita harus merefleksikan diri kah biar kita bisa melihat pantulanNya? Saya sendiri, masih bingung sama Dzat yang Maha Super ini. Terlalu rumit kalo kita menerka- nerka bentukan Tuhan. Salah- salah bisa masuk neraka. Tapi rasa penasaran siapa sih yang bisa membendung.. Apa Tuhan juga punya atau bahkan terdiridari partikel- partikel penyusun yang kemudian menjadi sebuah kesatuan? Atau cuma pertikel- partikel yang berdekatan dan melayang- layang? Lalu orang bilang itu ada di dalam diri kita?? 




Hmm Tuhan sulit untuk di 'ada' kan ya? Tapi Tuhan nggak perlu itu. 

Memang sudah ada :)

Maunya Gimana (?)

          Mau jadi apa kamu nanti? Apa cita- cita mu?

          Kalau boleh jujur itu pertanyaan paaaaling sulit buat saya untuk dijawab. Memasuki '2 tahun lagi, 3 tahun lagi, 4 tahun lagi, dan seterusnya" adalah zona tak terlihat di benak saya. Saya bukan cenayang yang pandai menerawang. Ah, mungkin ada hal yang lebih nyata daripada sekedar menerawang, tujuan saya buat waktu- waktu yang saya sebutkan tadi aja saya belum tau..

            Beda cerita kalau saya ditanya 'bakal' jadi apa kamu nanti? Tak perlu memutar otak untuk menjawabnya, ya geologist. Apa lagi?? Itu semata karena pendidikan yang saya tempuh sekarang, jadi ya saya maunya jadi itu, bukan yang lainnya. 
   
          Dari satu kata jawaban tadi pun ternyata masih bisa dijabarkan lagi. Kamu mau fokus ke bidang apa? Jengjett!! Rasanya otak saya harus mengantikan bumi berputar buat nemuin jawabannya.

         Banyak masukan dari orang- orang, banyak keinginan dari diri sendiri. Justru itu lah yang bikin saya nggak tau apa yang saya mau sampe sekarang.

          Kadang mikir, mending fokus ke hidrogeologi aja, terus saya aplikasikan ilmu saya di daerah- daerah yang sulit dapet air bersih, biar orang- orang di sana nggak susah nyari air, ilmunya manfaat banget buat banyak orang, berguna, dan nggak ngerugiin. Daripada saya fokus ke teknik lalu bikin proyek pembangunan monorail lah, jembatan lah yang nanti toh proyeknya bakal buat "mainan" sama pejabat- pejabat di atas sana. Atau fokus ke migas dan batubara yang toh sama aja bakal dijadiin mainan juga dan akhirnya malah bikin rugi orang- orang kita sendiri. Nggak bisa bohong, di benak saya ternyata ada pikiran semacam itu.

          Selain itu, ada juga masukan- masukan dari orang lain, entah diminta atau enggak. Saya senang hati nerimanya. Kalo masukannya masuk akal dan membuka pikiran saya, kenapa enggak. Tapi, nerima masukan yang membuka pikiran bukan berarti kita harus menjalankan. Ketika kita udah punya tujuan lalu dapet masukan dari orang lain yang bikin kita mikir ulang. Ya dipikir ulang bukan berarti kita nggak jadi..

          Saya punya teman, selalu minta pendapat orang lain dan selalu ngelakuin apa yang orang lain saranin ke dia, apalagi keluarga. Kadang saya mikir, hidup kita yang jalanin, kenapa kita harus otomatis melakukan apa yang orang lain bilang? Kapan kita bisa jadi manusia mandiri kalo kita masih neduh di ketek orang lain?

          Kepikiran apa enggak, suatu saat kita bakal ditinggal sama orang- orang yang ngasih masukan tadi. Ketika kita udah terlanjur ngelakuin apa yang mereka bilang dan mereka udah ninggalin kita, mau nanya ke siapa nanti kalau tiba- tiba kita nemu ke-nggak-cocokan sama apa yang kita terlanjur lakuin? Balik ke kalimat tadi, nerima pendapat boleh, tapi bukan berarti kita harus lakuin. Harusnya kita mulai pegang kendali terhadap tujuan kita mulai dari sekarang, bukan orang yang nurut ketika dapet masukan ini itu semata dengan alasan mereka pengen yang terbaik buat kita. Ya kalo mereka selalu ada buat kita, eww ~

          Dan, kalo keputusan nggak lagi ada di tangan kita, apa kita yakin kalo kita bener- bener hidup?

Merapi, 1 Januari 2014

Jadi malem tahun baru kemaren saya dan 5 orang teman yang lain naik ke Gunung Merapi. Nggak Sampe puncak sih, karena cuaca nggak memungkinkan dan memang adanya keterbatasan waktu mengingat kami sedang ujian. Suhu di sana lagi dingin- dinginnya, karena hujan. Pemandangan juga ketutup kabut, semuanya putih, sayang juga sih, tapi nggak papa.