258 JOGJA

Sugeng Tanggap Warsa Kota Tercinta, Yogyakarta! Biar lebih enak, mungkin saya nyebutnya dengan nama Jogja, kota yang selalu saya pijek semenjak saya belajar ngerangkak sampe sekarang ini. Banyak yang berubah di sini, ya iyalah secara (hampir) nggak ada satupun hal yang statis di alam semesta. Tapi perubahan Jogja bikin saya jadi ngerasa ganjil. Entah memang saya yang nggak siap sama banyak perubahan atau memang kota ini yang berubah kelewat dari batas.


Makin ke sini Jogja makin berkembang, memang bener. Tapi sayangnya saya ngerasa perkembangan yang paling signifikan di Jogja ya Cuma perkembangan secara fisik, banyak gedung baru entah itu hotel, mall, pertokoan, kafe yang sengaja dibangun untuk narik wisatawan atau bikin masyarakat kita jadi konsumtif, dan sistem jalan raya yang berubah untuk sedikit- sedikit mengurangi kemacetan di beberapa titik walaupun di tempat lain justru malah makin macet.


Kalo orang pergi ke luar Jogja dalam kira- kira 2 bulan ini mungkin bakal sedikit asing karena ada beberapa jalan yang diubah jadi satu arah. Dan mungkin bagi orang yang udah nggak di Jogja selama 3 tahun-an mungkin bakal kaget karena banyak banget yang berubah, ya Jogja nya, ya orang- orangnya, tapi tetep aja saya merasa, di sini masih lebih baik.


Sangat disayangkan banyak banget hal baru yang justru makin lama bikin masyarakat sini ngerasa asing dan nggak nyaman di kotanya sendiri, saya juga nggak ngerti gimana caranya sampe bisa bangunan- bangunan itu berdiri angkuh di tanah Jogja. Lebih- lebih saya kasihan sama masyarakat yang ada di sekitar hotel dan mall- mall yang sudah ataupun yang lagi dibangun.


Di dekat rumah saya, ada sebuah perkampungan. Waktu saya SD dulu, saya selalu pulang ke rumah jalan kaki lewat jalan kampung tersebut. Di sana ada lapangan yang cukup luas dan selalu dipakai bermain oleh anak- anak seumuran saya waktu itu dan tempat berkumpul warga serta orangtua yang menjaga anaknya bermain. Ramai dan asik banget pasti, kadang saya pun berhenti di sana untuk menonton Jathilan keliling yang kebetulan sedang ada ketika saya lewat.


Sekarang lapangannya sudah nggak ada, diganti sama hotel yang cukup mewah, tinggi dan dalam. Saya bilang ‘dalam’ karena saya sempat mengintip saat dibangun tanah disitu dikeruk sampai sangat- sangat dalam entah untuk pondasi atau basement. Lapangan hilang, anak- anak nggak punya tempat untuk main bareng lagi, orang- orang dewasa nggak bisa kumpul lagi, interaksi da kehidupan sosial warga jadi berkurang ungkin karena media "kumpul-kumpul" nya hilang, bisa aja jadi lebih "sendiri- sendiri", air yang di dapat untuk kebutuhan sehari- hari nggak selancar dulu, kadang juga keruh, dan satu hal yang bikin saya sedih, banyak orang yang kehilangan sinar matahari pagi, siang mereka pun juga jadi gelap, ketutup bangunan tinggi dan mereka berada di belakangnya kecil- kecil berjejer rapat. Saya pikir, di sekitar bangunan seperti itu pasti ada yang kehilangan sinar matahari, dan hal lainnya pasti. Pembangunan yang nggak pake akal sehat gitu, ternyata bisa juga bikin pergerseran sosial dan lingkungan. Nggak kebayang kalo saya yang punya rumah di situ, apa yang saya bisa rasain selama ini tiba- tiba hilang gitu aja, pemandangan yang dilihat dari kecil tiba- tiba hilang, suasana yang dirasain dari kecil juga udah nggak sama, tapi toh nggak bisa berbuat apa- apa buat mencegah atau ngedapetin lagi hal kayak gitu.


Saya suka sekali lewat Jalan Mangkubumi. Bangunannya masih asli sejak jaman dulu. Di kanan kiri masih berdiri toko- toko jaman dulu, kantor yang masih asli bangunannya, walaupun nggak modern kayak toko- toko dan kantor jaman sekarang, tapi kokoh dan ‘ngayemi ati’, padahal di tengah kota, di sana saya bisa dapet suasana Jogja ketika mungkin kakek nenek saya masih kecil. Tapi itu dulu. Sekarang sebagian besar bangunannya udah berubah, untuk kantor provider telepon seluler, dealer kendaraan bermotor, hotel mewah juga nggak ketinggalan, dan pemilik- pemilik yang ngerubah toko mereka jadi lebih modern. Suasana asli Jogja jaman dulu udah nggak kerasa lagi di sana.. Di tempat lain, makin- makin.


Agak ngelunjak rasanya kalo pengen Jogja bakal kayak dulu lagi. Tapi sebagian besar orang yang udah ngabisin sebagian besar hidupnya selama ini  termasuk saya sendiri masih ngerasa, kalo di sini lebih baik.

7-22/09/14

I have finished my mapping practice in Karangsambung, Kebumen. It took 2 weeks and I felt isolated there. But in the other hand i felt very very happy because I could meet my college friends everyday, at breakfast and dinner time, and also everytime we made daily report and made tracks plan in the night that made us bored and frustated.


I did activity scheduled. In barrack, started from wake up in the early morningbathroom queuingwatched my friends make up her own face, drying her hair and chit-chatting. At 6 o’clock we would had be in dining room to  have breakfast together. After that, we went back to the barrack to prepare our field equipments. At 7 o’clock we gathered in the yard with our team and our lecturer to have briefing  before going to field.

My partners in the field are Ipul and ‘si  Bos Ganténg’ from Manokwari, Samuel. I went to the field with Samuel for 2 days and the other days with Ipul. At 8 am until 5 pm we were in the field, and took a little time for break to ate our own foodprovision and did prayer. Before our working time end, sometimes we alocated time to visit the Luk Ulo ‘super’ river to relax and enjoy the view, just played with the water or took some our pictures together and ‘act’ like local youth before went back to barrack.

Something that i found everyday just outcrop, forest, bushes and river, sometimes snakes or people’s sewage, errrrr! I had a moment where there was a frog standing beside my foot and then a snake appeared and grabbed the frog suddenly. How lucky i was the snake didn't make a fault to grab and bit my foot. And the most disgusting thing was when i was untentionally stepped on the fresh sewage, ugh!!! I hate it to the max.

Besides that, i found something I called "individual attractiveness". I liked to step on the dry leaves. I always enjoy the sounds they made. When i entered the jungle, i found so many falling dry leaves and i tought “it is heaven!”. So, when my partner observed the outcrop in his kavling, i made a thousand steps in the dry leaves instead and then my partner gave a comment, in javanesse: “plis deh Nggik koe ra sah bahagia..”  Hmm, i assumed he just had not tried to make a step on dry leaves yet.

Arrived in barrack, i queued to take a bath immediately and after that we always shared everything that we found in the field, ‘gossiping’ or having short sleep while waiting dinner time at 6.30 PM. And all these activities repeated for 16 days. What a great experience and precious lesson for me and my friends for having this moment together before we live our own life.



can you see them? i found them in limestone olistolith

best place to take a rest after mapping activity


miss this road and the view